Friday, December 3, 2010

Poems for Woman : Don't Give Too Much to A Loser

Satu hal yang paling membuat energi saya seperti terhisap habis seketika adalah kalau membaca berita atau mendengar curhatan orang tentang kekerasan domestik yang dialaminya. Mereka jadi lemah, hatinya lumpuh, kepercayaan dirinya hancur, menyalahkan diri sendiri, dan tidak tahu harus kemana dan harus berbuat apa.

"Lalu saya harus bagaimana?" begitu pertanyaan yang kerap muncul.

Mereka sebenarnya tahu bahwa kekerasan yang mereka alami tidak seharusnya terjadi, dan mereka tahu bahwa seharusnya mereka berani mengambil tindakan supaya kekerasan itu tidak berulang.

Tapi mereka tetap berharap suatu ketika pasangannya akan berubah sikap. Mereka berharap, jika menikah maka kekerasan yang mereka alami semasa pacaran akan sirna, digantikan oleh kekuatan cinta maha dahsyat. Mereka berharap, suami mereka akan berubah jika mereka bertahan dan tetap menunjukkan sikap lemah-lembut, tanpa perlawanan, tanpa protes. Berharap bahwa pasangannya akan mampu melihat ketulusan dan pengorbanan mereka, mampu melihat hati mereka yang seluas samudra. Mereka rela mengorbankan semuanya, bahkan keselamatan dirinya sendiri demi menunjukkan cinta. Dan kadang sampai berpikir kalaupun mereka mati, it's worth it karena pasangannya akan menunjukkan penyesalan tiada tara dan setiap hari akan mengirimi bunga ke pusaranya.

Sounds familiar, huh? Berapa banyak cerita tentang perempuan bertahan sampai mati dalam sebuah hubungan yang tidak sehat; yang dikemas dalam bahasa yang menguras air mata sampai puluhan ember banyaknya? Kisah yang justru menunjukkan tanpa sadar bahwa demikianlah cara seorang perempuan dalam menghadapi kekerasan yang dialaminya. Dengan bertahan sampai mati.

Kekerasan dalam sebuah relasi antara lelaki dan perempuan bukan barang aneh. Dan kekerasan relasi tersebut bisa menimpa siapa saja; tidak perduli anda lulusan S3 perguruan tinggi yang paling jangkung sedunia, atau drop-out dari esde. Tidak perduli anda taat beragama atau ateis, atau anda dari keluarga terpandang atau sederhana. Setiap orang bisa mengalami bentuk kekerasan jenis ini.
Di Amerika, satu dari lima gadis remaja mengalami kekerasan dari pacarnya; dipukul, ditampar, atau didorong dengan keras (sumber: the National Center for Victims of Crime). Perempuan juga rentan mengalami kekerasan dari pasangannya 10 kali lipat dibandingkan dengan lelaki (http://www.aardvarc.org/dv/statistics.shtml). Ini di Amerika, yang sistem perlindungan terhadap perempuan tergolong baik. Bagaimana pula dengan negara yang tidak punya sistem perlindungan perempuan sama sekali?



Jika kita mendengar cerita-cerita semacam ini, kadang kita spontan berkomentar: salahnya sendiri, kenapa tidak pergi saja, kenapa terus bertahan?

Mengalami kekerasan seperti itu bukan hal yang mudah untuk diatasi. Apalagi jika kita berada dalam kultur yang mengajarkan perempuan untuk bersikap submissive, tunduk patuh tanpa syarat, sekalipun rumahnya seperti neraka. Lebih sulit lagi jika dia tidak punya kekuatan finansial dan pasangannya mengancam akan melukai atau merampas anak mereka.

Saya baru saja membaca kisah seorang korban kekerasan domestik di majalah MetroParent edisi Oktober 2009 yang tersedia gratis di sini. Donna, si korban tersebut, bertahun-tahun hidup dengan suaminya yang abusif.

Sebenarnya, tanda-tanda tersebut sudah nampak sejak mereka pacaran. Pacar Donna sangat posesif, tidak mengijinkannya bertemu teman atau saudaranya dengan alasa agar dia bisa lebih banyak berada di sisi sang pacar. Kemudian dia mulai sering mengkritik penampilan Donna, dan menghardiknya jika penampilannya tidak sesuai selera sang pacar atau karena dia terlambat sedikit saja dari janji bertemu.

Donna berharap, perilaku pacarnya itu akan berubah saat menikah. Dan kenyataannya,tentu saja tidak.....

Seorang yang abusif cenderung akan makin abusif pada pasangannya. Mobilnya dirusak sehingga Donna tidak bisa mengendarainya. Dia tidak diberi uang, sering dilempari piring. Jika Donna mengajukan cerai, dia memintanya untuk kembali dengan janji akan bersikap lebih baik. Tetapi tentu saja, yang terjadi sebaliknya. Hingga suatu saat suaminya hampir menghajarnya dengan pisau pemotong daging. Itulah titik balik dimana Donna memutuskan untuk pergi dengan anak-anaknya dan memulai hidup baru bermodal uang 100 dollar di kantongnya.

Itulah lingkaran kekerasan domestik. Mereka mengalami tekanan dan keputusasaan yang akut selama tinggal dengan pasangan abusifnya. Bukan selamanya salah si korban jika mereka tidak segera mencari bantuan. Karena umumnya, kekerasan semacam ini berlangsung pelan-pelan, dan membuat si korban kehilangan daya, tidak tahu harus kemana atau mencari bantuan pada siapa. Tidak ada jalan keluar yang lebih baik daripada memberikan bantuan dan perlindungan pada sang korban. Dukungan dan bantuan dari teman dan keluarga adalah yang paling membantu.

Dan untuk yang belum terlanjur menikahi pasangan yang salah; ada baiknya kita memperhatikan gelagat awalnya. Jika pacar kita punya hobi mengolok-olok kita, punya hobi mencela penampilan, sering mengatakan kita bodoh, sering menuntut, dan jelas-jelas tidak memberikan rasa damai dan bahagia pada kita, secepatnya putuskan sebelum terlanjur. Apalagi kalau sudah main pukul atau main tampar.

Jangan berpikir bahwa kita pantas menerimanya. Tidak perlu meromantisir keadaan dengan berpikir bahwa perilakunya akan berubah setelah menikah atau setelah punya anak. Hanya sebagian kecil yang bisa berbalik positif. Selebihnya, nonsense. Kita tidak perlu menghabiskan umur, emosi, kebahagiaan hati, atau bahkan keselamatan kita sendiri dengan berpikir kita sanggup merubahnya. Apalagi dengan alasan takut dicap tidak laku, malu sama tetangga, malu sama orangtua, malu sama si ini si itu. Kenapa harus memikirkan orang lain yang jelas-jelas tidak punya kontribusi apapun terhadap kehidupan kita kelak?




Don't give too much to a loser.

No comments: